
Muhammad Yasir menuangkan kisah perjalanannya menjelajahi pulau Borneo ke dalam sebuah buku berjudul Surat-Surat Perjalanan Kalimantan Barat hingga Kalimantan Timur. Di dalamnya, ia menggambarkan bagaimana masyarakat, khususnya para mamak (ibu-ibu) di Kalimantan, menghadapi kerasnya kehidupan.
Yasir, seorang penyair asal Danau Sembuluh, Seruyan, Kalimantan Tengah, dikenal melalui tulisannya yang sarat metafora dan kerap menyoroti persoalan sosial yang mengusik nuraninya.
Dalam buku teranyarnya ini, Yasir menuliskan hasil pengamatannya langsung di lapangan mengenai bagaimana para mamak tetap bertahan dan berjuang di tengah maraknya deforestasi serta konflik agraria.
“Surat-surat ini adalah bentuk cara saya mendokumentasikan pertemuan saya dengan mereka yang mengalami penindasan—baik di perkotaan maupun pedesaan—selama perjalanan ini berlangsung,” ungkap Yasir, membacakan kutipan bukunya pada sesi bedah buku hari Jumat (11/7/2025).
Dalam sesi tersebut, Yasir membagikan pengalaman yang ia sebut terasa ‘ganjil’. Perasaan tersebut timbul ketika bertemu dengan warga yang menyambutnya dengan hangat, meskipun menyimpan kepedihan mendalam.
“Bagaimana mungkin saya bisa memahami penderitaan mereka yang terjebak konflik dengan perusahaan sawit dan tambang? Saya tak kuasa membayangkannya,” ucapnya dengan nada getir.
Lewat buku ini, Yasir ingin menyuarakan kegelisahannya terhadap kondisi sosial dan lingkungan Kalimantan. Hutan yang dulunya lebat kini berubah menjadi lahan gundul karena eksploitasi industri ekstraktif dan pembangunan masif.
Di balik hilangnya hutan secara besar-besaran itu, timbul juga gesekan sosial. Banyak warga yang harus berebut hak atas tanah dengan perusahaan-perusahaan besar.
Sering kali, warga yang berusaha mempertahankan lahan warisan nenek moyangnya justru mendapat kekerasan sebagai balasan. Dalam perjalanannya yang melintasi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, hingga Kalimantan Timur, Yasir menulis 32 (XXXII) surat yang mendokumentasikan peristiwa-peristiwa tersebut.
Dalam surat berjudul Surat XIV: Memori Kolektif Perempuan Olak-olak Kubu, Yasir menulis tragedi yang menimpa para mamak di Olak-olak Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, pada 2016. Ketika itu, terjadi bentrokan antara warga dengan aparat terkait sengketa tanah.
Diceritakan bahwa para mamak dan perempuan di sana berhamburan lari menyelamatkan diri ke dalam hutan, sembari menggendong anak-anak mereka, karena ketakutan melihat para suami mereka menjadi korban tindakan represif dari aparat keamanan.
Dalam Surat XV: Kedai Asiang dan Feminis Akar Rumput, Yasir mengisahkan perjumpaannya dengan seorang aktivis perempuan di Pontianak, Kalimantan Barat. Ia menulis tentang perjuangan sahabatnya itu yang gigih membela kaum perempuan adat yang terlibat konflik penguasaan lahan.
Menurut Yasir, teori feminisme yang diajarkan di kalangan akademisi kota sangat berbeda dengan cara perempuan adat memaknai perjuangan. Meski tidak vokal secara verbal, mereka bukan berarti lemah atau tidak melawan.
“Ketika mendampingi mereka berladang, misalnya, kita bisa merasakan kekuatan yang terpancar dari langkah, ucapan, dan nyanyian mereka,” tulisnya, mengutip bagian dari buku tersebut.
Yuliana, seorang Dosen Sosiologi dari Universitas Palangka Raya yang hadir sebagai pembanding, memuji keberanian Yasir dalam menuliskan kesedihan dan air mata yang ia rasakan selama penulisan. Menurutnya, hal tersebut berhasil menantang anggapan bahwa laki-laki harus selalu kuat secara emosional.
Faktanya, lanjut Yuliana, laki-laki juga bisa mengalami kepekaan emosional dan memiliki empati terhadap perjuangan kaum perempuan. Namun ia menyarankan agar dalam penulisan, suara perempuan turut dimunculkan secara langsung.
“Sebagaimana dekatnya pendekatan fenomenologi terhadap objek, ia tetap tak mampu sepenuhnya menyuarakan rasa sakit yang dirasakan oleh perempuan itu sendiri,” jelasnya.
Janang Firman Palanungkai dari Walhi Kalteng turut memberikan tanggapan terhadap karya tersebut. Menurutnya, pendekatan pribadi yang digunakan Yasir membuat tulisan terasa lebih jujur dalam menangkap kenyataan di lapangan.
“Ketika narasumber dihadapkan pada alat perekam, ekspresi mereka cenderung berubah. Ini kerap menghambat proses penggalian fakta yang sebenarnya,” ucap Janang.
Sementara itu, pada Surat XXII: Kepada Mama dan Kaum Mama Surat Ini Kutuliskan, Yasir merefleksikan kenyataan yang ia saksikan selama menjelajah Borneo: kaum mamak merupakan pihak yang paling terdampak dalam konflik agraria di kawasan sawit.
Dalam bagian itu pula, ia menyisipkan rasa rindu pada sang mamak di kampung halaman, sosok yang selama ini menjadi penopang semangatnya.