Kalimantan Terlupakan: Mimpi Transportasi Murah dan Mudah yang Tak Kunjung Jadi Nyata
Kalimantan, dengan segala kekayaan alam dan potensi strategisnya, seharusnya menjadi kawasan unggulan pembangunan nasional. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Di berbagai daerah terpencil Kalimantan, masyarakat masih hidup dalam kondisi serba terbatas. Salah satu masalah paling mencolok adalah akses transportasi yang mahal, sulit dijangkau, dan seringkali tidak tersedia sama sekali.
đźš§ Transportasi: Masalah Utama yang Tak Pernah Selesai
Bagi sebagian besar masyarakat perkotaan di pulau Jawa, transportasi mungkin bukan hal yang perlu dipikirkan panjang. Namun di pelosok Kalimantan, cerita berbeda. Banyak desa yang hanya bisa diakses melalui jalur sungai dengan perahu bermesin, atau bahkan harus berjalan kaki menembus hutan dan rawa selama berjam-jam.
Ketiadaan infrastruktur jalan yang layak membuat segala aktivitas masyarakat menjadi mahal dan lambat. Harga kebutuhan pokok naik drastis karena biaya distribusi yang tinggi. Anak-anak harus menempuh perjalanan jauh dan melelahkan hanya untuk sampai ke sekolah. Bahkan untuk ke puskesmas atau rumah sakit terdekat, banyak warga harus menempuh perjalanan yang bisa memakan waktu berhari-hari, terutama saat musim hujan datang.
đź›¶ Transportasi Sungai: Satu-Satunya Harapan
Di banyak wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, transportasi sungai masih menjadi tumpuan utama masyarakat. Sungai seperti Kapuas, Mahakam, dan Barito berfungsi layaknya jalan raya. Sayangnya, akses ini pun tak sepenuhnya bisa diandalkan.
Perahu motor yang digunakan sering tidak layak pakai, dengan harga sewa yang sangat tinggi. Beberapa daerah bahkan hanya bisa dijangkau dengan longboat yang menghabiskan biaya bahan bakar hingga ratusan ribu rupiah untuk satu kali perjalanan. Padahal, pendapatan masyarakat umumnya masih berada di bawah garis kemiskinan.
📉 Dampak Ekonomi dan Sosial
Ketimpangan akses transportasi ini jelas berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat. Petani dan nelayan kesulitan menjual hasil bumi mereka karena tidak ada jalur distribusi yang layak. Barang-barang kebutuhan sehari-hari menjadi mahal dan langka. Mobilitas tenaga kerja pun terbatas, menjadikan penduduk daerah terpencil makin tertinggal.
Sementara itu, program pemerintah seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur justru menyorot kontras yang tajam. Pembangunan besar-besaran untuk kepentingan pusat tidak otomatis membawa manfaat langsung bagi masyarakat yang tinggal jauh dari kota. Warga di desa-desa perbatasan masih berjuang untuk bisa keluar dari isolasi.
📢 Suara yang Terabaikan
Masyarakat di daerah terpencil Kalimantan sebenarnya tidak menuntut jalan tol atau moda transportasi canggih. Mereka hanya ingin akses yang layak, murah, dan berkelanjutan. Jalan desa yang bisa dilalui kendaraan roda dua, jembatan kecil yang aman, atau subsidi perahu untuk jalur sungai—itu saja sudah cukup membawa perubahan besar.
Sayangnya, suara mereka seringkali tak terdengar di meja-meja perencanaan pembangunan nasional. Fokus pembangunan yang masih Jawa-sentris membuat daerah di luar pulau utama seperti Kalimantan terpinggirkan, seolah bukan bagian dari prioritas negara.
đź’ˇ Solusi yang Bisa Ditempuh
Perlu adanya pendekatan pembangunan yang berbasis keadilan wilayah. Pemerintah daerah dan pusat harus bersinergi untuk membangun infrastruktur dasar di daerah terpencil, bukan hanya di kota besar. Program padat karya, pembangunan dermaga kecil, subsidi bahan bakar untuk angkutan sungai, serta pelatihan operator transportasi lokal adalah beberapa solusi yang realistis dan bisa diimplementasikan.
Lebih dari itu, penting juga melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan pembangunan agar solusi yang diambil benar-benar menyentuh kebutuhan nyata di lapangan.
🛤️ Kesimpulan: Mimpi yang Masih Tertunda
Transportasi murah dan mudah di Kalimantan bukanlah kemewahan. Itu adalah hak dasar setiap warga negara untuk bisa hidup layak dan berkembang. Saat suara dari pedalaman Kalimantan terus diabaikan, maka ketimpangan akan terus tumbuh. Pemerintah harus sadar: membangun Indonesia tidak bisa hanya dari pusat ke pinggir. Waktunya membalik arah, dari pinggir ke pusat.