KEHIDUPAN PEREMPUAN ADAT DITENGAH BERKURANGNYA SUMBER DAYA ALAM
Pengantar
Setiap manusia telah dianugerahi hak-hak yang melekat dalam diri. Hal-hak tersebut menjamin kehidupan manusia selama kehidupannya. Hak-hak tersebut dikenal sebagai Hak Asasi Manusia. Dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa HAM merupakan hak yan melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Karena itulah, keberadaan HAM wajib dihormati, dan dilindungi oleh negara, hukum dan oleh setiap manusia. Begitu pula halnya dengan perempuan, sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara, perempuan memiliki peran penting dalam banyaknya dinamika-dinamika yang terjadi. Namun, adakalanya ketika peran perempuan tidak diperhitungkan dan dianggap remeh, sedangkan perempuan memiliki hak untuk berjuang demi kehidupannya. Oleh karena itu, perempuan memiliki haknya sendiri yang harus dilindungi oleh hukum dan negara dikenal dengan Hak Asasi Perempuan, yang oleh PBB telah ditetapkan sebagai perjanjian internasional pada tahun 1979 yang disebut dengan CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) atau Konvensi mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita. Dan pada tahun 1984 Indonesia turut serta menandatangani Konvensi ini, hingga diratifikasi sebagai UU RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
Atas dasar itulah, segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan sudah seharusnya tidak terjadi lagi. Akan tetapi, lain halnya dengan kondisi yang terjadi di masyarakat, di tengah kehidupan modern dengan majunya teknologi harusnya mampu untuk merubah pola pikir serta tindakan setiap orang, namun hak-hak perempuan hingga kini masih belum dipenuhi dengan semestinya. Jika perempuan-perempuan di kota-kota besar yang maju telah sebagian besar mendapat haknya berupa kesetaraan Pendidikan dan pekerjaan, berbeda dengan kondisi di pedesaan yang sampai saat ini, perempuan masih terus memperjuangkan haknya sekalipun tanpa dibekali wawasan yang memadai.
Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki sumber daya alam melimpah harusnya mampu memenuhi hak-hak hidup setiap perempuan. Begitu halnya dengan Kalimantan Tengah yang merupakan bagian dari pulau terbesar di Indonesia menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Dan karena itulah, berbagai investasi baik oleh Negara maupun swasta berbondong-bondong hadir untuk mengelola sumber daya alam tersebut. Investasi yang sedemikian banyak harapannya mampu untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar hingga beroleh kesejahteraan yang sesuai dengan harapan setiap orang. Harapan yang demikian berbanding terbalik dengan kondisi yang terjadi, dalam 3 dekade terakhir alih fungsi hutan sebagai investasi telah merampas wilayah hidup dan wilayah kelola perempuan adat terhadap hutan serta akibat kondisi tersebut semakin mengesampingkan hak perempuan atas lingkungan yang sehat, dimana pencemaran akibat aktivitas pertambangan dan perkebunan kelapa sawit, ditambah lagi dengan hadirnya Hutan Tanam Industri (HTI) yang semakin meningkatkan beban hidup perempuan dan semakin mempersempit ruang gerak perempuan dalam pengelolaan hutan.
- Kondisi Ekonomi, Sosial, Budaya dan Kesehatan Perempuan di Pedesaan
- Perempuan Adat
Kehidupan bermasyarakat memang tidak lepas dari interaksi dengan sesamanya. Begitu halnya dengan perempuan yang berada di pedesaan, yang masih kental dengan adat dan budaya yang tetap terjaga. Karena itulah kehidupan di pedesaan umumnya lebih bersifat kekeluargaan. Namun, berbagai permasalahan yang muncul juga tidak lepas dari kehidupan pedesaan terlebih pada kondisi sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan.
Di Kalimantan Tengah sendiri, perempuan mengalami berbagai persoalan dan penindasan yang diakibatkan oleh kebijakan negara, termasuk dalam kebijakan investasi. Hal ini mengakibatkan perempuan semakin dipersulit dan terpinggirkan dari pengelolaan sumber daya terutama dalam hal pengambilan keputusan. Masuknya investasi telah menghilangkan jati diri perempuan adat terutama perempuan di pedesaan dengan berbagai kearifan lokalnya yang sangat berhubungan erat dengan alam. Akibat dari investasi, perempuan kehilangan sumber daya alam sebagai sumber kehidupan utama untuk bertahan hidup, karena hutan dan tanahnya telah berubah dan dikontrol oleh para pemegang investasi.
Pembukaan perusahaan perkebunan besar-besaran mengakibatkan berkurangnya mata pencaharian alami bagi perempuan. Bagi perempuan kelas menengah kebawah fenomena ini akan mempersulit mereka dari segi ekonomi. Hilangnya akses atas sumber daya alam ini, kemudian mengharuskan perempuan mencari cara untuk mencukupi kehidupannya.
- Buruh Perempuan
Kehidupan perempuan memang tidak lepas dengan berbagai permasalahan terutama dalam lingkup keluarganya. Hal tersebut berlaku bagi setiap perempuan dimanapun, begitu pula dengan kehidupan perempuan di pedesaan banyak mengalami perubahan, baik dari pekerjaan, pola hidup dan kebiasaannya.
Tetapi dengan segala rasa tanggungjawab, mereka terus berjuang untuk kesejahteraannya, ditengah keadaan lingkungan yang sudah berubah mengharuskan mereka untuk turut bekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit yang hingga kini masih banyak berstatus Buruh Harian Lepas. Disamping sebagai penunjang kesejahteraan keluarganya, perempuan buruh juga berperan ganda sebagai ibu rumah tangga. Kalimantan Tengah yang hutannya didominasi oleh alih fungsi sebagai perusahaan perkebunan kelapa sawit mempekerjakan banyak buruh perempuan yang kebanyakan bekerja pada bagian perawatan sebagai, pemupuk, piringan (membersihkan area pohon kelapa sawit), dan brondolan (mengumpulkan biji kelapa sawit). Bekerja sebagai buruh dilakukan guna menambah penghasilan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Menjadi buruh tentu bukan pilihan terbaik, jika sebelum masuknya perusahaan perempuan bebas mengambil hasil alam seperti dari sungai dan hutan yang berlimpah, dan apa yang mereka ambil hanya untuk kebutuhan sehari-hari. Akan tetapi, masuknya perusahaan kelapa sawit mengakibatkan alih fungsi lahan yang membuat ketersediaan sumber daya berupa flora dan fauna semakin hilang serta pencemaran akibat pabrik dan perkebunan sawit membuat kondisi air sungai juga berubah dan berdampak pada berkurangnya populasi biota sungai.
Di beberapa perkebunan yang menerapkan sistem pengupahan dan jaminan kerja sesuai dengan Peraturan Undang-Undang, seperti BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan akan mencukupi kebutuhan, dengan jam dan hari kerja yang sesuai serta sudah menjadi Buruh Tetap oleh perkebunan. Dengan sistem pengupahan per hari atau per HK nya Rp 127.000 dan dalam 1 bulan perusahaan menetapkan bekerja selama 20-24 hari kerja, yang artinya dalam 1 bulan pendapatan perorang hanya berkisar Rp 2.500.000 – Rp 3.000.000.
Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi perempuan/masyarakat yang menjadi Buruh Harian Lepas di perkebunan, aturan sistem pengupahan dan jam kerja tidak sama dengan Buruh Tetap yang mendapatkan berbagai jaminan serta upah yang setara. Selain, tidak mendapatkan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, hak normatif sebagai buruh perempuan, yaitu cuti haid dan melahirkan juga tidak diberikan. Buruh perempuan maupun buruh laki-laki yang bekerja sebagai Buruh Harian Lepas (BHL) yang upah per hari atau per HK nya hanya Rp 80.000. Dalam 1 bulan perusahaan menetapkan para BHL hanya bekerja selama 12-16 hari kerja, yang artinya dalam 1 bulan pendapatan perorang hanya berkisar Rp 900.000 – Rp 1.200.000. Dalam satu tahun pihak perusahaan hanya menaikan upah sebesar Rp.5.000. Sedangkan kita ketahui bahwa saat ini sedang terjadi kenaikkan bahan pokok dan minyak bumi serta beberapa hal lain yang mengalami dampak dari hal tersebut. Tetapi, keadaan ini mau tidak mau harus diterima dan dijalani oleh masyarakat, karena keterbatasan Pendidikan yang mengakibatkan wawasan serta pengetahuan mengenai hak-haknya tidak dapat dengan leluasa mereka perjuangkan.
Kalimantan Tengah yang menempati posisi tiga besar sebagai daerah yang memiliki areal kebun sawit terluas dengan jumlah total mencapai 6,6 juta hektar atau 46% dari luas kebun sawit di Indonesia. Sepanjang periode 2020-2021, Indonesia menjadi produsen minyak sawit mentah terbesar secara global dengan berkontribusi sekitar 58% dari total produksi CPO dunia dan kelapa sawit akan tetap menjadi sumber utama pendapatan Indonesia hingga tahun 2030.
Namun dari besarnya jumlah produksi CPO dunia, tidak bisa memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Fenomena kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng di Indonesia menjadi bukti bahwa pembukaan lahan sebagai perkebunan tidak dapat serta merta menjadi solusi untuk kesejahteraan masyarakat. Perempuan yang berada dalam kelas sosial menengah ke bawah tentu sangat diberatkan dengan situasi ini. Persoalan ini bukan dari segi jumlah pasokan minyak goreng, namun lebih menitikberatkan pada harga yang melambung tinggi dan praktik ekonomi politik yang dipermainkan oleh perusahaan dan negara.
Bertambahnya beban pada sektor domestik bagi perempuan secara langsung mengharuskan perempuan untuk bisa mengatur kembali kebutuhan agar bisa tercukupi. Penghasilan yang diperoleh hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan utama. Bekerja dan dibayar dengan upah murah ditengah harga harga bahan pokok yang semakin tinggi, maka beban yang dialami oleh kaum perempuan juga semakin besar.
Hadirnya perkebunan tidak memberikan dampak baik, hutan yang dibabat, sungai yang tercemar serta masyarakat desa yang bekerja di perusahan masih banyak berstatus Buruh Harian Lepas tanpa tunjangan apapun, terlebih buruh di pedesaan didominasi lebih banyak oleh perempuan. Keadaan ini mengakibatkan perempuan mengemban beban yang besar karena kondisi “dapur” keluarga diatur oleh perempuan sebagai dampak dari budaya patriarki yang masih tinggi. Hal itu membuat perempuan tidak punya pilihan untuk mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga harus menggunakan system kasbon/hutang, yang akan dibayarkan ketika menerima upah dari perusahaan. Tidak hanya itu, sebagian perempuan juga harus memikirkan usaha lain yang dapat menunjang ekonominya dengan berkebun, berladang, mencari ikan, dan berjualan makanan. Berladang di pedesaan umumnya adalah menanam padi, namun akibat hilangnya hutan yang dialih sebagai perkebunan membuat hanya segelintir masyarakat yang dapat berladang dengan ketersediaan lahan yang sedikit yang kini mengakibatkan benih-benih padi local lambat laun mulai punah. Kondisi yang demikian hingga kini terus berlanjut ditengah harga bahan pokok yang sangat tinggi, terlebih di pedesaan yang aksesnya sulit dijangkau.
Harapan masyarakat atas hadirnya perusahaan milik negara dan swasta adalah agar dapat menunjang kesejahteraan mereka baik dari segi pendapatan hingga infrastruktur. Namun, kesenjangan infrastruktur sangat dirasakan di pedesaan, ketidaktersediaan jalan yang layak, fasilitas umum seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan yang tidak memadai serta tidak adanya akses internet dan listrik membuat kehidupan di pedesaan semakin terpuruk. Di Tengah pesatnya kemajuan teknologi yang dapat diakses oleh semua orang, namun masyarakat di pedesaan tidak dapat merasakan. Walaupun ditengah keterbatasan tersebut, masyarakat tetap berjuang dan berupaya untuk mengimbangi, agar tidak tergerus oleh perubahan zaman. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pergi kedaerah yang memiliki pemancar sinyal, baru kemudian masyarakat bisa mengakses internet.
Kondisi menyulitkan terutama pada saat pandemi Covid-19 yang secara langsung Pemerintah menerapkan sistem pendidikan secara online ditengah keterbatasan akses yang dimiliki oleh desa, mengakibatkan situasi dunia Pendidikan pedesaan yang tidak dapat mengikuti sesuai dengan ketetapan pemerintah. Salah satu dampak dari pembukaan lahan adalah deforestasi yang dalam 1 dekade terakhir mengakibatkan banjir besar untuk pertama kalinya sepanjang kehidupan masyarakat pedesaan yang berada di pesisir sungai hingga mengakibatkan kelumpuhan aktivitas masyarakat baik ekonomi, social, dan Pendidikan.
Namun, hingga kini pertanggungjawaban perusahaan, pemerintah dan pihak-pihak yang terlibat tidak ada. Serta akses kesehatan yang tidak memadai, bahkan hingga kini petugas kesehatan jarang ditemukan yang berada dan tinggal di desa.
Keadaan ini sangat berdampak bagi kehidupan masyarakat di pedesaan terutama bagi ibu hamil atau melahirkan serta orang-orang yang memerlukan akses cepat penanganan kesehatan harus
pergi ke wilayah dengan alat dan tenaga medis yang memadai dengan kondisi jalan yang sulit serta beberapa desa hanya memiliki akses sungai untuk transportasi.
Akibat kondisi tersebut, kehidupan di pedesaan terutama perempuan masih jauh dari kata sejahtera. Banyaknya kaum perempuan yang menjadi buruh dan sekian banyak perempuan pedesaan tidak memiliki latar belakang Pendidikan, menjadi bukti bahwa penindasan terhadap kaum perempuan masih terus terjadi.(Progress)