BALIKPAPAN – Pulau Kalimantan menyokong 82 persen—atau 687 juta ton—dari total produksi batu bara nasional sepanjang 2024. Kedudukan Kalimantan sebagai “raja energi” ini terungkap dalam Roadshow Edisi Kalimantan yang digelar Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI/ICMA) di Hotel Fugo, Samarinda, Rabu (9/7/2025).
Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM, Siti Sumilah Rita Susilawati, menegaskan bahwa sektor batu bara tetap menjadi tulang punggung ketahanan energi nasional, dengan Kalimantan sebagai pilar terbesarnya. “Pertambangan batu bara berperan vital mendukung pasokan energi Indonesia, dan Kalimantan memegang peranan utama dalam kontribusi itu,” ujarnya.
Peta Produksi per Provinsi
Data Ditjen Minerba menunjukkan Kalimantan Timur masih menjadi lumbung produksi terbesar, menyumbangkan 368 juta ton. Disusul Kalimantan Selatan 237 juta ton, Kalimantan Tengah 39 juta ton, Kalimantan Utara 28 juta ton, dan Kalimantan Barat 15 juta ton. Angka‑angka itu menegaskan betapa dominannya pulau ini dalam pemasok energi fosil domestik.
Ketergantungan Pembangkit Listrik
Siti menambahkan, 50–60 persen pembangkit listrik di seluruh Nusantara masih mengandalkan batu bara, dan sekitar 70 persen di antaranya dipasok langsung dari Kalimantan. “Dengan fakta tersebut, para pengelola wajib bersyukur sekaligus memastikan pengelolaan berjalan ramah lingkungan dan bertanggung jawab,” pesannya.
Signifikansi dalam Bauran Energi dan Penerimaan Negara
Pada 2024, batu bara berkontribusi 40,56 persen dalam bauran energi nasional. Dominasi Kalimantan tidak hanya menopang keamanan pasokan tetapi juga menghasilkan pemasukan fiskal besar. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) subsektor minerba tahun lalu tercatat Rp 140,46 triliun—setara 123,75 persen dari target—atau 52 persen dari total PNBP sektor ESDM.
Produksi nasional 2024 sendiri mencapai 836,1 juta ton, melewati target 117,76 persen. Untuk 2025, pemerintah mematok target 739,674 juta ton; hingga Mei, realisasi sudah 357,6 juta ton.
Tantangan Harga Global
Meski capaian produksi memuaskan, gejolak pasar internasional tetap menjadi momok. Ketua Umum APBI, Priyadi, mengingatkan bahwa harga batu bara sempat aman pada triwulan pertama, namun merosot tajam memasuki kuartal kedua. “Fluktuasi global sulit diprediksi; jika tren ini berlanjut, kinerja ekonomi daerah produsen bisa terpukul,” katanya.
Tambahan Analisis dan Latar Belakang
1. Implikasi bagi Ketahanan Energi Nasional
• Cadangan strategis: Ketergantungan 50–60 persen pembangkit kepada batu bara menuntut adanya cadangan logistik yang memadai. Gangguan suplai di Kalimantan—baik karena faktor cuaca, sosial, maupun harga—dapat langsung menggoyang keamanan energi nasional.
• Diversifikasi lambat: Walau program transisi energi terus digalakkan, realisasi pembangkit terbarukan tak secepat proyeksi. Artinya, batu bara masih akan memegang peran mayoritas setidaknya lima hingga tujuh tahun ke depan.
2. Dampak Ekonomi Lokal
• Efek ganda (multiplier effect): Rantai pasok mulai dari jasa angkutan, peralatan berat, hingga kebutuhan konsumsi pekerja meningkatkan perekonomian daerah. Pemerintah daerah memperoleh dana bagi hasil, meski kerap dipersoalkan persentasenya.
• Ketimpangan pendapatan: Daerah penghasil sering menilai pembagian DBH belum sebanding dengan kontribusi dan beban lingkungan yang mereka tanggung. Isu inilah yang baru‑baru ini banyak disuarakan gubernur di Kalimantan.
3. Tantangan Lingkungan dan Sosial
• Rehabilitasi lahan: Sebanyak 320 ribu hektare lahan eks tambang di Kalimantan memerlukan reklamasi; progresnya baru sekitar 55 persen.
• Resettlement masyarakat: Sejumlah desa terdampak perlu relokasi karena penurunan tanah (land subsidence) dan pencemaran air. Program ini memerlukan koordinasi lintas kementerian agar hak warga terselamatkan.
• Kritis di momen El Niño: Musim kemarau panjang turut meningkatkan risiko kebakaran lahan bekas tambang yang belum direklamasi sempurna.
4. Strategi Merespons Fluktuasi Harga
• Kontrak jangka menengah: Perusahaan dianjurkan mengunci sebagian produksi melalui kontrak 2–3 tahun guna meredam volatilitas bulanan.
• Hedging finansial: Opsi lindung nilai di bursa komoditas semakin relevan, meski belum banyak dimanfaatkan pelaku domestik.
• Diversifikasi pasar: Selain Cina dan India, produsen Indonesia mulai membidik Vietnam, Filipina, dan Bangladesh dengan skema pasokan jangka panjang.
5. Prospek 2025 dan Seterusnya
• Target lebih tinggi, suplai teruji: Kenaikan target 2025 menuntut efisiensi logistik—terutama pelabuhan pengapalan di Mahakam dan Barito yang acap padat.
• Transisi energi: Pemerintah pusat sedang mempercepat co-firing biomassa dan menggagas early retirement PLTU tua. Bila sukses, permintaan batu bara domestik bisa mulai turun perlahan menjelang 2030.
• Peluang hilirisasi: Gasifikasi batu bara menjadi metanol dan DME kian digalakkan. Jika proyek‑proyek ini rampung tepat waktu, Kalimantan tidak hanya mengekspor bahan mentah, tetapi juga produk bernilai tambah tinggi.
6. Pandangan Pelaku Usaha dan Pemda
Pelaku industri mendesak regulasi yang lebih pasti, khususnya terkait cepatnya penyesuaian harga acuan batu bara (HBA). Di lain pihak, pemerintah daerah menuntut skema dana kompensasi lingkungan yang proporsional. Konsensus diperlukan agar keberlanjutan ekonomi dan ekologi berjalan seimbang.