Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA) mengkritik keras langkah hukum yang ditempuh oleh PT Kalimantan Lestari Mandiri (KLM) terhadap dua akademisi yang memberikan kesaksian ahli dalam perkara kebakaran lahan kelapa sawit di Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, yang terjadi pada tahun 2018.
Akibat kesaksian kedua akademisi tersebut dalam persidangan, PT KLM menggugat Basuki Wasis dan Bambang Hero Saharjo dengan tuntutan ganti rugi materiel sebesar Rp273 miliar, ditambah kerugian imateriel senilai Rp90 miliar. “PT KLM menyatakan bahwa keterangan ahli yang disampaikan dalam pengadilan membuat mereka dijatuhi putusan pembayaran ganti rugi dan pemulihan lingkungan,” ujar KIKA melalui pernyataan tertulis, Minggu, 6 Juli 2025.
Menurut KIKA, gugatan ini merupakan bentuk Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP)—sebuah tindakan hukum yang bertujuan membungkam keterlibatan publik. Padahal, seorang ahli memiliki tugas profesional untuk memberikan keterangan berdasarkan keilmuan mereka. Oleh karena itu, kesaksian seperti ini tidak sepatutnya dijadikan dasar untuk tuntutan hukum.
KIKA juga mengingatkan bahwa tindakan SLAPP dapat menimbulkan efek jera (chilling effect), di mana para akademisi enggan menyampaikan pendapat profesionalnya dalam perkara lingkungan yang kompleks dan krusial. “Kasus ini berpotensi melemahkan prinsip negara hukum yang demokratis dan mengancam kebebasan profesi keahlian di Indonesia,” tegas KIKA.
KIKA menyampaikan bahwa praktik kriminalisasi yang terus terjadi terhadap akademisi yang membela lingkungan menunjukkan kelemahan negara dalam melindungi warganya—terutama mereka yang menjalankan fungsi akademik dan konstitusional secara strategis.
Selain mencederai kebebasan akademik, gugatan ini juga dinilai melanggar hak atas rasa aman sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005.
Tak hanya itu, tindakan hukum terhadap dua dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut juga bertentangan dengan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) No. 5 Tahun 2021 mengenai kebebasan berekspresi dan berpendapat. Regulasi tersebut menegaskan bahwa setiap individu berhak secara bebas menjalankan kegiatan pengabdian masyarakat, pendidikan, dan penelitian, serta mempublikasikan hasilnya berdasarkan kaidah keilmuan.
Melihat hal itu, KIKA menyerukan keterlibatan negara dalam menghadapi berbagai bentuk kriminalisasi terhadap akademisi. Mereka juga menuntut agar lembaga peradilan menghentikan proses hukum terhadap dua saksi ahli tersebut. “Serangan seperti ini tidak hanya menimbulkan ketakutan, tapi juga merusak kebebasan akademik dan mengancam perlindungan atas lingkungan, HAM, serta stabilitas sosial-ekonomi masyarakat,” pungkas KIKA.