Penolakan Transmigrasi di Kalimantan: Akademisi Peringatkan Potensi Masalah Sosial Baru
Program transmigrasi yang selama ini digadang-gadang sebagai solusi pemerataan pembangunan di Indonesia, kini kembali menjadi sorotan. Sejumlah pihak di Kalimantan menyuarakan penolakan terhadap rencana transmigrasi baru, terutama dalam konteks mendukung pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Penolakan ini tidak hanya datang dari masyarakat adat dan tokoh lokal, tetapi juga mendapat perhatian dari kalangan akademisi.
Menurut pengamat sosial dan dosen Universitas Palangkaraya, Dr. Elvina Rahmat, pelaksanaan transmigrasi secara terburu-buru tanpa pendekatan sosiokultural yang tepat berpotensi menimbulkan masalah sosial baru, seperti konflik lahan, ketimpangan ekonomi, dan ketegangan antar kelompok masyarakat.
Kenapa Transmigrasi Ditolak?
Program transmigrasi, yang dahulu sukses memindahkan jutaan warga dari Pulau Jawa ke wilayah-wilayah luar Jawa, kini menghadapi tantangan baru. Beberapa alasan utama penolakan di Kalimantan meliputi:
- Kekhawatiran terhadap lahan adat dan hak ulayat yang akan terganggu oleh masuknya pendatang baru.
- Ketimpangan sumber daya, di mana warga lokal merasa kalah bersaing dalam aspek modal dan keterampilan dibandingkan transmigran.
- Potensi marginalisasi budaya lokal, karena perubahan struktur demografi dapat menekan eksistensi bahasa dan adat istiadat asli Kalimantan.
- Risiko eksploitasi alam, di mana pembukaan lahan baru untuk transmigrasi bisa mempercepat deforestasi dan degradasi lingkungan.
“Kita tidak bisa memaksakan logika pembangunan yang homogen. Kalimantan punya sejarah dan struktur sosial yang unik. Jika transmigrasi tidak dirancang dengan hati-hati, itu bisa menimbulkan gesekan baru,” ujar Dr. Elvina.
Sorotan Terhadap Rencana Pemerintah
Rencana transmigrasi ini sejatinya menjadi bagian dari strategi pemerintah pusat untuk mendukung pertumbuhan Ibu Kota Nusantara (IKN), yang kini sedang dibangun di Kalimantan Timur. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sempat menyebut akan ada ribuan warga yang diarahkan pindah ke kawasan sekitar IKN dalam lima tahun ke depan.
Namun demikian, berbagai kalangan menilai pendekatan yang dilakukan terlalu teknokratik dan belum cukup melibatkan partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan maupun pelaksanaannya.
“Kami khawatir transmigrasi ini hanya menguntungkan kelompok tertentu, sementara masyarakat lokal justru hanya menjadi penonton,” kata Yosep Kalalangan, aktivis masyarakat adat dari Kalimantan Barat.
Potensi Masalah Sosial dan Budaya
Sejarah menunjukkan bahwa program transmigrasi seringkali melahirkan segregasi sosial jika tidak dikelola dengan baik. Transmigran cenderung membentuk komunitas sendiri, lengkap dengan fasilitas yang berbeda dengan warga lokal, yang menimbulkan kesenjangan akses dan layanan.
Di Kalimantan, kondisi ini bisa berakibat serius karena menyangkut isu pengakuan tanah adat, pengelolaan hutan, hingga akses atas sumber daya alam.
“Jika warga lokal merasa termarginalkan atau tersingkir di tanahnya sendiri, maka itu bisa menciptakan bom waktu sosial,” tambah Elvina.
Perlu Revisi Kebijakan dan Dialog Terbuka
Para akademisi dan aktivis menyarankan agar pemerintah tidak sekadar mengejar target jumlah kepala keluarga yang dipindahkan, melainkan fokus pada aspek keberlanjutan, integrasi sosial, dan keadilan antar kelompok.
Beberapa langkah yang diusulkan antara lain:
- Audit sosial dan lingkungan sebelum menentukan wilayah transmigrasi.
- Konsultasi aktif dengan masyarakat adat dan tokoh lokal.
- Penegakan hak atas tanah dan hutan adat sebagai prioritas utama.
- Pemberdayaan ekonomi warga lokal terlebih dahulu, sebelum mendatangkan pendatang baru.
- Monitoring independen dari lembaga akademik dan masyarakat sipil.
Selain itu, pemerintah diimbau untuk mengedepankan transparansi dan keterbukaan informasi agar tidak menimbulkan spekulasi negatif di tengah masyarakat.
Penutup: Pembangunan Harus Humanis
Transmigrasi bukan sekadar soal pindah tempat tinggal. Ia adalah pergerakan budaya, ekonomi, dan sosial yang kompleks. Kalimantan sebagai salah satu paru-paru dunia dan pusat budaya lokal yang kuat tidak bisa dijadikan ladang percobaan pembangunan tanpa pertimbangan matang.
“Pembangunan harus inklusif dan humanis. Jika tidak, maka pembangunan itu justru akan menciptakan luka baru di daerah yang selama ini sudah banyak berkontribusi terhadap negara,” tutup Dr. Elvina dengan nada tegas.