Press Rilis: Refleksi Perjuangan Plasma dan Proses Penyelesaiannya di Tengah Pendekatan Berbasis Yurisdiksi di Kabupeten Seruyan
Kabupaten Seruyan merupakan wilayah berkembang yang dibentuk pada tahun 2002 sebagai pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Timur melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 2002 tentang pembentukan delapan kabupaten baru di provinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten Seruyan memiliki potensi sumber daya alam yang cukup tinggi, hingga menjadi salah satu tujuan investasi. Investasi yang hadir di wilayah Kabupaten Seruyan sebagian besar merupakan investasi berbasis hutan dan lahan yang berbentuk perkebunan kelapa sawit. Perusahaan perkebunan sawit diharapkan sebagai upaya dan harapan dalam peningkatan ekonomi masyarakat dan ekonomi daerah. Akan tetapi, berkembangnya perusahaan perkebunan kelapa sawit ini menimbulkan konflik-konflik antara perusahaan dan masyarakat serta menimbulkan dampak lingkungan akibat angka deforestasi yang semakin tinggi.
Kabupaten Seruyan telah ditunjuk sebagai wilayah percontohan penerapan metode Pendekatan Yuridiksi ini sejak tahun 2015. Dalam hal ini, sebagai langkah mempercepat pencapaian sebagai kabupaten dengan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan untuk menekan serta menurunkan angka deforestasi dan konflik sosial, Pemerintah Daerah Kabupaten Seruyan menerapkan Pendekatan Berbasis Yuridiksi (Jurisdictional Approach).
Berbasiskan peran aktif Pemerintah Daerah dalam upaya penyelesaian masalah antara perusahaan dan masyarakat yang diperkuat dengan pembuatan aturan/kebijakan yang diperlukan untuk menyikapi persoalan di daerahnya. Kemudian berdasarkan upaya tersebut, Pemerintah Kabupaten Seruyan menerbitkan beberapa aturan yang dijadikan pedoman untuk penyelesaian konflik, yaitu Penetapan Peraturan Bupati Nomor 11 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengaduan dan Pengelolaan Data Konflik Usaha Perkebunan di Desa serta Peraturan Bupati Nomor 48 tahun 2022 tentang Pedoman Penanganan Konflik Usaha Perkebunan adalah upaya pendekatan yurisdiksi lain yang ditempuh pemerintah daerah Seruyan dalam menyelesaikan konflik.
Namun, sampai saat ini masih dipertanyaan bagaimana keseriusan pemerintah menjalankan Pendekatan Yurisdiksi terutama dalam konflik perkebunan. Sepanjang tahun 2023 banyak aksi-aksi masyarakat yang menuntut haknya, salah satunya adalah plasma. Aksi-aksi ini dilakukan masyarakat sebagai bentuk keluhan/keberatan terhadap banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang telah berlangsung lama. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan antara lain, tidak adanya FPIC (Free, Prior & Informed Consent), ganti rugi yang tidak sesuai, penyerobotan lahan, tidak adanya pemenuhan kewajiban plasma, dll.
Aksi masyarakat yang terjadi pada September 2023 di PT. HMBP I (Hamparan Masawit Bina Persada I – Best Group) yang sebagian besar wilayahnya masuk administratif Desa Bangkal, berujung kriminalisasi oleh aparatur negara pada masyarakat adat desa Bangkal yang berakibat luka-luka hingga kematian.
Kemudian pada masyarakat adat yang wilayahnya masuk dalam perusahaan PT. Wana Sawit Subur Lestari 2 (WSSL 2) terus memperjuangkan hak atas plasma dari dalam inti kebun, karena lahan yang di canangkan untuk menjadi lahan plasma dari PT. WSSL 2 adalah lahan yang masuk ke dalam pemukiman masyarakat, kebun pribada, lapangan sepak bola, kantor desa, postu, dan area pembangunan pemukiman baru milik desa.
Sayangnya aksi – aksi masyarakat selalu dihadapkan dengan intimidasi dan represifitas hingga kriminalisasi terhadap masyarakat adat oleh pihak aparatur negara dan pengaduan yang dilakukan oleh masyarakat melalui Perbup juga masih belum menunjukkan titik terang dari pemerintah daerah. Yang mana, hingga sekarang belum ada hasil yang mumpuni seperti diharapkan masyarakat kepada perusahan melalui pemerintah daerah.
Dalam menganalisis kasus-kasus sengketa perkebunan plasma, perlu diketahui bahwa menurut sistem hukum Indonesia yang menganut paham hukum Eropa kontinental di mana salah satu asas kuncinya adalah asas legalitas , maka analisis terhadap kasus sengketa perkebunan plasma akan dianalisis berdasarkan peraturan yang berlaku saat kasus terjadi. Hal ini selaras dengan asas non-retroactive dalam penerapan hukum yang artinya peraturan yang terbit kemudian tidak dapat diterapkan pada kasus yang terjadi pada masa sebelum terbitnya peraturan tersebut.
Peraturan yang didaftar di bawah ini dimulai dari tahun 80an – 2022. Penggunaan istilah Plasma di dalam peraturan perundangundangan perkebunan sudah digunakan pada tahun 1986. Namun model inti-plasma dari periode ke periode diatur secara berbeda-beda. Peraturan yang dianalisis adalah peraturan pada tingkat nasional maupun daerah.
Di kabupaten/kota yang menjadi sentra usaha perkebunan, juga memiliki peraturan daerah yang mengatur perizinan usaha dan kemitraan. Secara umum, isinya mengikuti aturan yang telah ditetapkan pada peraturan lebih tinggi yaitu peraturan menteri atau undang-undang. Pola-pola kemitraan usaha perkebunan kelapa sawit yang diatur berdasarkan peraturan perundangundangan dari periode ke periode.
Tuntutan :
- Segera mendorong seluruh perusahaan sawit yang ada di Kabupaten Seruyan untuk segera menjalankan kewajibannya dalam pemenuhan lahan plasma.
- Meminta kepada perusahaan untuk memberikan hak – hak ketenagakerjaan termasuk Buruh Harian Lepas yang berasal dari desa sekitar terutama terkait dengan upah.
- Meminta Pemerintah untuk bertindak tegas terhadap perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran hak masyarakat, hak buruh dan kerusakan lingkungan.
- Meminta Pemeritah untuk melakukan monitoring terhadap perusahaan – perusahaan sawit sesuai dengan kebijakan yang berlaku.