Progress Kalteng Pertanyakan Keseriusan Pemkab Seruyan Implementasikan Pendekatan Yurisdiksi
Lembaga Penelitian Lingkungan dan Hak Asasi Manusia (Progress) Kalimantan Tengah merekomendasikan agar RSPO meninjau pelaksanaan Sertifikasi Yurisdiksi di Kabupaten Seruyan. Hal ini dalam upaya penghormatan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat.
Direktur Palangka Raya Ecological and Human Rights Studies (Progress) Kalteng, Kartika Sari, mengatakan pihaknya bersama Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) telah melakukan penelitian dan mendokumentasikan beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan Besar Swasta (PBS) perkebunan kelapa sawit di 7 desa di Kabupaten Seruyan.
Menurut Direktur Progress Kalteng langkah yang diambil Pemerintah Kabupaten Seruyan untuk menurunkan angka deforestasi dan konflik sosial dengan menerapkan pendekatan yurisdiksi sebagai bagian integral dari pola pembangunan berkelanjutan sudah baik. Namun keberadaan Peraturan Bupati Nomor 11 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengaduan dan Pengelolaan Data Konflik Usaha Perkebunan di Desa tidak ada artinya apabila tidak ada komitmen serius Pemda setempat dalam implementasinya.
“Pemerintah Seruyan kan mempunyai inisiatif untuk melakukan pendekatan yurisdiksi untuk menyelesaikan konflik sosial termasuk konflik agraria dan perbaikan lingkungan. Tetapi masih banyak kasus-kasus yang dirasa oleh masyarakat masih dirasa belum diselesaikan. Masih ada kesulitan masyarakat dalam melakukan komplain ke Pemda, jadi slow respon bahkan tidak direspon. Pengaduan dari masyarakat terkait persoalan-persoalan pemberian plasma itu ke Pemerintah Kabupaten sampai hari ini sudah dua kali surat dilayangkan untuk mengetahui bagaimana sikap atau dukungan dari pemerintah tetapi tidak ada respon sama sekali. Sedangkan Pemerintah Kabupaten Seruyan sendiri memiliki komitmen baik waktu FGD antara masyarakat dan pemerintah Kabupaten Seruyan bahkan juga kemarin di acara RSPO mempunyai komitmen untuk menjalankan pendekatan yurisdiksi dengan baik dan serius,” ucapnya saat jumpa pers di Palangka Raya, Senin (5/12/2022).
Kartika Sari mengatakan beberapa pelanggaran yang dilakukan PBS diantaranya tidak dilakukan FPIC (Free Prior Informed Consent) atau PADIATAPA yang merupakan hak masyarakat untuk memperoleh informasi awal tanpa paksaan. PBS hanya melakukan sosialisasi kehadiran perusahaan mereka melalui perwakilan dari desa bahwa mereka telah mendapatkan ijin dari Pemerintah tanpa meminta persetujuan dan menjelaskan informasi terutama dampak ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan terhadap masyarakat baik itu positif dan negatif.
Selain itu, ganti rugi yang tidak adil, hilangnya mata pencaharian masyarakat dan perubahan mata pencaharian, minimnya kesejahteraan masyarakat serta kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat setempat masih terjadi.
Hal yang disampaikan Progress Kalteng diamini seorang warga Kabupaten Seruyan yang enggan disebutkan namanya. Menurutnya, sejumlah aksi yang dilakukan masyarakat untuk menuntut PBS Sawit melaksanakan kewajibannya tidak membuahkan hasil.
Ia mengatakan sekitar 80 persen konflik antara PBS dengan masyarakat di Kecamatan Hanau dan Kecamatan Danau Sembuluh belum terselesaikan.
“Kalau diprosentasekan masih 80 persen yang belum terselesaikan. Masih banyak konflik warga yang belum diselesaikan, memang ada yang sudah diselesaikan, tapi mungkin yang 7-8 tahun sudah bersengketa. Memang sudah ada yang diselesaikan tapi masih banyak yang belum diselesaikan,” tuturnya.
Menurutnya, masyarakat di sekitar areal perkebunan PT. Sawit Mas tidak merasakan kesejahteraan dengan keberadaan investasi yang masuk ke desa mereka sejak 2006.
Masyarakat sekitar hanya bisa bekerja sebagai pekerja harian lepas yang bekerja hanya setengah hari dengan upah Rp80 ribu per hari.
source : rri.co.id