Gowa, Sulawesi Selatan – Seorang pria berinisial AM, warga Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian. Penetapan ini dilakukan setelah AM diketahui memukul seorang pemuda berinisial MSH (19), yang sebelumnya diduga mencabuli anak perempuannya yang masih berusia 5 tahun. Ironisnya, tindakan spontan seorang ayah dalam membela anaknya justru membawanya ke jeratan hukum.
Muh Alwi Hidayat, selaku kuasa hukum AM, mengonfirmasi bahwa kliennya kini tengah menghadapi proses hukum atas tuduhan penganiayaan. “Benar, klien saya saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Gowa,” ujar Alwi kepada detik Sulsel, Kamis (10/7/2025).
Awal Mula Peristiwa
Peristiwa memilukan ini bermula pada 17 Mei 2025, ketika putri AM tiba-tiba pulang ke rumah dalam kondisi menangis histeris. Kepada orang tuanya, anak tersebut mengaku telah menjadi korban tindakan asusila oleh MSH saat bermain petak umpet di lingkungan masjid. Tindakan bejat tersebut terjadi di dalam gudang masjid, yang pada saat itu pintunya sempat dikunci oleh pelaku.
“Dia kunci pintu gudang, lalu anak saya diperlakukan tidak senonoh,” ungkap AM.
Korban yang masih kecil sempat berteriak, hingga akhirnya pelaku ketakutan dan membuka pintu, lalu anak tersebut berlari keluar. Warga sekitar yang mendengar keributan pun ikut menyaksikan kejadian tersebut.
Emosi Ayah Meledak
Tak lama setelah kejadian, AM mencari MSH untuk meminta penjelasan. Namun, sang pelaku disebut tidak menunjukkan penyesalan dan malah mengelak. “Dia jawab ngawur, saya tidak tahan, saya tinju bahunya dua kali,” ungkap AM.
Meski sempat tersulut emosi, AM tetap menempuh jalur hukum. Malam itu juga, setelah salat Isya, ia mendatangi Polres Gowa untuk melaporkan kasus pencabulan. “Saya melapor sekitar jam 8 malam. Dan pelaku ditangkap sekitar pukul 2 dini hari,” tuturnya.
MSH pun langsung ditetapkan sebagai tersangka dan diamankan pihak berwajib hanya beberapa jam setelah laporan diterima.
Berbalik Jadi Tersangka
Namun dua hari setelah kejadian, keluarga MSH melaporkan balik AM atas dugaan penganiayaan. Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti Polres Gowa, dan pada 19 Juni 2025, status AM ditetapkan sebagai tersangka.
“Saya diperiksa lagi pada 30 Juni sebagai tersangka. Diminta buat surat permohonan agar tidak ditahan. Setelah itu saya dipersilakan pulang,” katanya.
Respons Terbatas Pihak Kepolisian
Hingga berita ini ditayangkan, detik Sulsel telah berupaya meminta klarifikasi dan keterangan resmi dari Polres Gowa terkait perkembangan perkara ini. Namun, Kasat Reskrim Polres Gowa, AKP Bahtiar, belum merespons panggilan maupun kunjungan wartawan.
Konteks Hukum dan Respons Masyarakat
Kasus ini menjadi sorotan luas karena menyentuh aspek moral dan keadilan emosional. Banyak pihak menilai bahwa reaksi spontan seorang ayah yang menyaksikan anaknya menjadi korban pelecehan seksual adalah hal yang sangat manusiawi. Namun secara hukum, tindakan fisik terhadap pelaku tetap dikategorikan sebagai penganiayaan.
Pengamat hukum pidana dari Universitas Hasanuddin, Dr. Andi Arsyad, menyatakan bahwa hukum pidana Indonesia bersifat objektif dan tidak mempertimbangkan motif emosional dalam banyak kasus. “Meski bisa dimaklumi secara moral, secara yuridis tindakan memukul tetap memenuhi unsur penganiayaan sesuai KUHP,” jelasnya.
Namun ia juga menambahkan, bahwa aparat penegak hukum seharusnya dapat menggunakan asas keadilan restoratif dalam kasus seperti ini, di mana niat awal pelaku (AM) adalah untuk melindungi anak, bukan melakukan tindak kekerasan tanpa sebab.
Di media sosial, publik ramai-ramai menyuarakan dukungan kepada AM. Tagar seperti #DukungAyahGowa dan #LindungiAnakBukanPelaku sempat menjadi tren di X (Twitter). Banyak netizen menyayangkan mengapa korban dan keluarganya justru harus berurusan dengan proses hukum tambahan.
Perlindungan Anak dan Reformasi Prosedur Penanganan
Kasus ini juga menimbulkan diskusi lebih luas tentang perlindungan anak dan mekanisme penegakan hukum yang lebih berpihak pada korban dan keluarganya. Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) dalam keterangannya mendorong agar proses hukum pada kasus serupa tidak hanya menitikberatkan pada formalitas pidana, tetapi juga mempertimbangkan keadilan sosial dan trauma psikologis keluarga korban.
“Seharusnya keluarga korban tidak diperlakukan setara dengan pelaku hanya karena emosi spontan. Negara wajib hadir dalam melindungi hak anak dan orang tuanya,” ungkap Ketua LPAI, Seto Mulyadi dalam rilis terpisah.
Kesimpulan
Meski hukum harus ditegakkan secara adil, kasus AM ini memperlihatkan bahwa sistem hukum juga perlu mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan perlindungan korban. Publik kini menantikan bagaimana proses selanjutnya berjalan: apakah akan ada peninjauan ulang terhadap status AM, atau justru kasus ini menjadi preseden penting bagi pembaruan kebijakan perlindungan keluarga korban pelecehan seksual.